Balai Kota Surabaya: Simbol Surabaya sebagai Kotamadya

Nevinko Rizqullah
9 min readJun 15, 2020

--

Balai Kota pada tahun 1930 (Sumber: A Study of Architect Cosman Citroen (1881–1935) and His Works in Surabaya)

Kota Surabaya merupakan ibu kota sekaligus kota terbesar di Jawa Timur yang telah menjadi pusat perekonomian Jawa Timur sejak masa kolonial. Kota Surabaya merupakan kota pelabuhan dengan lokasi yang strategis sehingga kota Surabaya perlahan berkembang menjadi kota perdagangan dan menjadi salah satu pusat perekonomian Hindia Belanda. Pada awal abad ke-19, Daendels mendirikan beberapa industri militer dan maritim di Surabaya yang menjadi cikal bakal industrialisasi di Surabaya.

Pada awal abad ke-20, Surabaya berkembang menjadi kota yang modern. Perkembangan tersebut didukung oleh pesatnya kemajuan industri yang mampu meningkatkan perekonomian Surabaya serta teknologi seperti rel dan kendaraan bermotor yang mampu meningkatkan mobilitas masyarakat (Samidi, 2017: 158). Salah satu hal yang juga mengalami perkembangan adalah arsitektur. Arsitek Belanda mulai mengadaptasikan desain mereka dengan iklim tropis, sehingga menghasilkan gaya arsitektur kolonial yang baru dan khas.

Banyak peninggalan arsitektur kolonial yang masih berdiri di kota Surabaya hingga saat ini, salah satunya adalah Balai Kota. Balai Kota didirikan pada tahun 1927 dan memiliki panjang 102 meter dengan lebar 19 meter. Balai Kota di desain oleh Cosman Citroen dan dibangun di atas pondasi tiang pancang dan konstruksi rangka beton dengan dinding bata dan ditutup dengan atap rangka baja dengan genting sebagai bahan penutup (Handinoto, 1993: 7).

Balai Kota Surabaya sekitar tahun 1925–1930 (Sumber: Colonial Architecture)

Dari desain Balai Kota dapat dilihat bahwa Citroen menggabungkan arstitektur modern dengan iklim tropis Hindia Belanda, sehingga menghasilkan sebuah gaya arsitektur kolonial yang baru dan berbeda dari desain arsitektur Barat pada umumnya. Karakteristik Balai Kota seperti orientasi bangunan yang menghadap ke utara selatan, banyaknya pembukaan pada bangunan, adanya galeri mengelilingi bangunan, serta penyelesaian double gawel sebagai ventilasi dan pemasukan cahaya, menunjukkan ciri khas arsitektur iklim tropis lembab.

Handinoto dalam Arsitek G. C. Citroen dan Perkembangan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya: 1915–1940 (1993), menyebutkan bahwa Citroen yang merupakan kelahiran Amsterdam mencoba untuk menerapkan desain ‘Amsterdam School’ ke dalam desain talang yang menghadirkan desain yang ekspresif. Tangga pintu Balai Kota dihiasi dengan lampu, strip besi, serta paku-paku besar. Citroen bahkan mendesain perabotan seperti kursi yang digunakan oleh burgemeester dan anggota dewan kota.

Kursi yang didesain oleh C. Citroen untuk burgemeester (kiri) dan anggota dewan kota (kanan) (Sumber: Nieuw Soerabaia)

Pembangunan dilakukan oleh NV. Hollandsche Beton Maatschappij (HBM) pada tahun 1925 dan selesai pada tahun 1927. Pembangunan Balai Kota secara keseluruhan, termasuk perabotan, menelan biaya sekitar f. 500.000 (Von Faber, 1931:94).

Sejarah Berdirinya Balai Kota Surabaya

Pada tanggal 1 April 1906, Surabaya diubah statusnya dari karesidenan menjadi Gemeente atau kotamadya. Setelah menjadi kotamadya, belum ada lokasi yang memadai untuk mengadakan pertemuan dewan kota. Pertemuan pertama dewan kota dilakukan di kantor Asisten Residen atas usulan anggota dewan kota Van Ingen. Pertemuan berjalan disana dalam beberapa tahun sebelum akhirnya pindah ke bangunan bekas milik notaris hukum sipil Mens Fiers Smeding di daerah Gemblongan.

Kemudian sekitar tahun 1914, kantor dipindahkan ke kawasan Tunjungan dan pertemuan diadakan diadakan di Loge de Vriendschap di Tunjungan dan beberapa tempat lain seperti aula Societeit Concordia di Tegalsari, aula Handelsvereeniging, dan aula Kalimas-Club. Pada tahun 1920, kantor dipindah ke daerah ketabang yang nantinya didirikan Raadhuis atau balai kota, dimana dewan kota dapat mengadakan pertemuan (Von Faber, 1934: 99).

Desain Balai Kota pertama kali muncul pada tahun 1915. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan untuk membangun balai kota seperti sentralisasi urusan, mengakomodasi perkembangan aktivitas kotamadya, serta naiknya harga sewa gedung yang dijadikan sebagai kantor. Cosman Citroen ditunjuk oleh A. Meyroos, walikota pertama Surabaya (1916–1920), untuk mendesain balai kota. Dari lima belas anggota dewan, 14 orang setuju terhadap proposal desain dari Cosman Citroen. Hasil tersebut juga didukung oleh komite finansial (Santoso, 2010: 88).

Cosman Citroen, sang arsitek Balai Kota Surabaya (Sumber: Nieuw Soerabaia)

Rancangan Balai Kota pertama kali dibuat pada tahun 1916. Rancangan awal menunjukkan bahwa Balai Kota akan dibangun di wilayah Pasar Besar (Tugu Pahlawan), yang pada saat itu berfungsi sebagai Stadstuin atau taman kota. Pada tahun 1918, dibuatlah proposal untuk membangun Balai Kota di area yang lebih terbuka, bukan di area pusat kota. Dalam rapat dewan kota pada tanggal 21 Februari 1923, Balai Kota yang baru memerlukan kurang lebih 4.000 m² area lantai bangunan dan sekitar 20.000 m² area tanah bangunan (Santoso, 2010: 88).

Pada desain pertama, hampir setiap gedung didesain memiliki dua tingkat kecuali sisi timur yang menjadi pintu masuk utama didesain memiliki tiga tingkat. Citroen mengadaptasikan desainnya dengan iklim Hindia Belanda yang tropis. Dia mempelajari desain untuk iklim tropis dari pembangunan gedung Netherlands Indische Spoorweg Maatschapij di Semarang (yang saat ini dikenal dengan nama “Lawang Sewu”). Salah satunya seperti ventilasi udara yang didesain untuk memastikan udara panas dari dalam gedung dapat dikeluarkan secara efektif (Santoso, 2010: 88).

Desain pertama Balai Kota di Stadstuin, Pasar Besar (Sumber: A Study of Architect Cosman Citroen (1881–1935) and His Works in Surabaya)

Kemudian desain kedua dibuat pada tahun 1918. Perbedaan antara desain pertama dengan kedua hanya sebatas tampilan fisik dan area lantai saja. Desain kedua rencananya akan dibangun di kawasan Ketabang sesuai dengan proposal yang diajukan. Desain ini memiliki kemiripan dengan desain akhir Balai Kota.

Sketsa desain kedua Balai Kota di kawasan Ketabang. Terlihat adanya kemiripan dengan desain akhir Balai Kota (Sumber: A Study of Architect Cosman Citroen (1881–1935) and His Works in Surabaya)

Desain tersebut kemudian diubah lagi pada masa pemerintahan G. J. Dijkerman. Berdasarkan isi dari Gemeenteblad No. 133 tanggal 11 April 1921, disebutkan bahwa Balai Kota adalah “gerbang” kota Surabaya dan seharusnya menunjukkan signifikansi pemerintah kotamadya Surabaya sebagai pusat kebudayaan Jawa Timur (Santoso, 2010:90).

Desain akhir dibuat pada tahun 1925 atas permintaan walikota yang menginginkan desain baru dengan anggaran yang lebih rendah. Desain akhir terdiri dari dua bangunan bertingkat dua di depan dan belakang yang dihubungkan oleh koridor di sisi barat dan sisi timur. Karena keterbatasan dana, maka diputuskan untuk membangun bangunan belakang terlebih dahulu.

Desain akhir Balai Kota di kawasan Ketabang (Sumber: A Study of Architect Cosman Citroen (1881–1935) and His Works in Surabaya)

Pemerintah kotamadya kemudian membangun sebuah bangunan sementara di bagian belakang Balai Kota untuk menampung segala urusan dan aktivitas kotamadya Surabaya hingga Balai Kota selesai dibangun. Bangunan tersebut merupakan gagasan G. J. Dijkerman yang dibangun berdasarkan utilitas. Meski dibangun secara sederhana, bangunan tersebut dapat mengkonsentrasikan berbagai layanan yang sebelumnya tersebar di seluruh kota Surabaya.

Dalam rapat pada tanggal 27 Agustus 1925, seluruh peserta rapat setuju bahwa anggaran keseluruhan untuk pembangunan Balai Kota adalah sebesar f. 320.000 termasuk biaya kontraktor dan biaya lainnya. Pada pertengahan tahun 1925, pemerintah kotamadya membuat undangan terbuka kepada kontraktor untuk lelang proyek Balai Kota. Dari 16 partisipan, komite akhirnya memilih 8 partisipan yang dianggap memenuhi persyaratan, yaitu:

  1. A. M. de Kruyff dan A. J. de Geus (f. 333.000)
  2. A. Minderhoud dan J. Groen (f. 333.500)
  3. NV. Hollandsche Beton Maatschappij (HBM) (f. 338.350 tanpa pondasi dalam beton, f. 347.850 dengan pondasi dalam beton, dan f. 64.500 pondasi dalam beton saja)
  4. NV. Algemeene Bouw en Aanneming Maatschappij (f. 339.900)
  5. Schell en Schijfsma (f. 341.000)
  6. NV. Nederlansche Aanneming Maatschappij (NEDAM) (f. 347.200)
  7. Sj. Hijlkema (f. 352.800)
  8. C. Wielenga (f. 378.000)

Biaya yang ditawarkan oleh pengembang melebihi anggaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah kotamadya. Namun hal tersebut dapat dimaklumi karena naiknya harga semen pada saat itu.

Denah Kompleks Balai Kota di kawasan Ketabang (Sumber: Nieuw Soerabaia)

Seluruh partisipan diberi kebebasan untuk memilih pondasi awal dengan metode pembangunan yang berbeda, kecuali pondasi plat yang telah ditentukan dalam desain dan spesifikasinya. HBM merupakan satu-satunya partisipan yang merespon dengan memberikan tiga harga yang telah disebutkan di atas. Total area bangunan mencakup 2.000 m² sehingga biaya pembangunan dihitung sebesar f. 347.850 termasuk pondasi dalam. Perbedaan harga yang ditawarkan HBM untuk pembangunan keseluruhan dengan tawaran terendah hanya sebesar f. 14.850 (Santoso, 2010: 104).

Citroen merekomendasikan walikota untuk menerima penawaran HBM. Hal ini dikarenakan pondasi dalam yang ditawarkan HBM memiliki keuntungan seperti memudahkan pembangunan gedung bertingkat di tanah dengan kapasitas muatan tanah yang rendah serta memudahkan pemasangan selokan, kabel, dan utilitas lainnya. HBM juga memberikan jaminan penuh terhadap penggunaan sistem pondasi tersebut.

Setelah mengadakan rapat, walikota beserta dewan kota akhirnya sepakat untuk memberikan proyek Balai Kota kepada HBM dengan harga f. 347.850. Pada Desember 1925, pemerintah kotamadya mengundang beberapa kontraktor dan mengadakan tender untuk pembangunan pondasi dalam, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Hanya 5 partisipan yang memberikan penawaran untuk keduanya, yaitu A. M. de Kruyff dan A. J. de Geus, NV. Algemeene Bouw en Aanneming Maatschappij, HBM, NEDAM, dan NV. Bouwkundig Bureau Sitzen en Louzada.

Penawaran terendah untuk pembangunan keseluruhan diberikan oleh A. M. de Kruyff dan A. J. de Geus dengan harga f. 334.900. Sedangkan untuk pembangunan sebagian, penawaran terendah untuk pembangunan substruktur diberikan oleh A. M. de Kruyff dan A. J. de Geus sebesar f. 65.000 an untuk pembangunan superstruktur diberikan oleh NV. Bouwkundig Bureau Sitzen en Louzada sebesar f. 258.000 sehingga memiliki total harga sebesar f. 323.000, lebih murah dibandingkan tawaran terendah untuk pembangunan keseluruhan.

Namun A. M. de Kruyff dan A. J. de Geus belum memiliki reputasi dalam pembangunan pondasi dalam. Setelah dilakukan perhitungan, desain mereka tidak memenuhi persyaratan sehingga tawaran mereka akhirnya ditolak. Pilihan terakhir adalah menerima penawaran dari HBM yang menawarkan dua rencana. Rencana A memiliki 97 tiang lebih banyak dengan setiap tiang mampu menopang bobot maksimum 25 ton, sedangkan setiap tiang di rencana B mampu menopang bobot maksimum 40 ton. Akhirnya rencana B dipilih dengan harga f. 347.850.

Pembangunan Balai Kota dimulai pada tahun 1925 dan berada di bawah pengawasan Citroen. Pembangunan memakan waktu selama 2 tahun dan selesai pada tahun 1927.

Balai Kota Saat Ini

Perbandingan bagian depan Balai Kota sekitar tahun 1930-an dan tahun 2016 (Sumber: Colonial Architecture dan Zetizen Jawa Pos)

Balai Kota Surabaya telah menjadi salah satu ikon kota Surabaya dan merupakan salah satu arsitektur kolonial yang masih bertahan dan berfungsi hingga saat ini. Saat ini Balai Kota tetap digunakan sebagai pusat pemerintahan kotamadya Surabaya. Balai kota telah ditetapkan sebagai cagar budaya berdasarkan SK Menteri NoPM.23/PW.007/MKP/2007.

Balai Kota terus mendapatkan pemugaran dan perbaruan dari segi tampilan luar seperti pengecatan serta perbaruan fasilitas untuk menunjang aktivitas anggota pemerintah kotamadya Surabaya. Di bagian sekeliling luar Balai Kota diberi pagar dan ditanami pohon di bagian trotoar agar lebih rindang.

Perbandingan bagian barat Balai Kota pada tahun 1930an dan tahun 2020 (Sumber: Nieuw Soerabaia dan Google Maps)

Kompleks Balai Kota masih tetap sama dan tidak mengalami banyak perubahan. Bahkan nama jalan di sekelilingnya tidak berubah seperti Jimerto di utara dan Sedap Malam di timur. Hanya Ondomohen di selatan yang berganti nama menjadi Walikota Mustajab dan Ketabang Besar di barat berganti nama menjadi Jaksa Agung Suprapto.

Foto satelit Kompleks Balai Kota tahun 2020 (Sumber: Google Maps)

Di bawah pemerintahan walikota Surabaya Tri Rismaharini, Balai Kota mendapat berbagai penambahan dan perbaruan seperti pelebaran trotoar, serta tanda balai kota dan air mancur yang terletak di depan pagar Balai Kota. Selain itu tersedia fasilitas untuk masyarakat seperti tempat duduk dan jalur khusus sepeda. Trotoar di sekeliling Balai Kota juga dilapisi dengan ubin keramik 2 warna untuk menambah estetika.

Bagian depan Balai Kota tahun 2020 (Sumber: Google Maps)

Selain itu, terpasang juga bola-bola beton di sepanjang tepi trotoar. Bola-bola beton tersebut disebut bollard yang berfungsi sebagai pembatas antara trotoar dengan jalan raya. Mengutip penjelasan Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Endra Saleh Atmawidjaja kepada Kompas (2018), bollard tersebut memiliki fungsi agar kendaraan bermotor tidak dapat menyerobot masuk ke trotoar sehingga menambah keamanan dan kenyamanan pejalan kaki.

Penulis: Nevinko Rizqullah Reulysanto/121811433081

Referensi

  1. Von Faber, Godfried Hariowald. 1934. “Nieuw Soerabaia”. Surabaya: N. V. Boekhandel en Drukkerij H. van Ingen.
  2. Santoso, Joko Triwinarto. 2010. “A Study of Architect Cosman Citroen (1881–1935) and His Works in Surabaya”. Leiden: Universiteit Leiden.
  3. Handinoto. 1993. “Arsitek G. C. Citroen dan Perkembangan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya (1915–1940)”, dalam Dimensi vol. 19, hlm. 1–16.
  4. Samidi. 2017. “Surabaya sebagai Kota Kolonial Modern pada Akhir Abad ke-19: Industri, Transportasi, Pemukiman, dan Kemajemukan Masyarakat”, dalam Mozaik Humaniora vol. 17 no. 1, hlm. 157–180.

--

--

No responses yet